Minggu, 05 Oktober 2008

Jangan Bingungkan Rakyat Teknis Pemilu



Persiapan Pemilu 2009 terasa begitu rumit. Sejak awal pembuatan RUU sudah penuh debat. Sudah menjadi UU pun, tetap dirombak. Misalnya, mengapa metode mencoblos tetap digunakan, padahal dalam UU sudah disebut menandai. Bagaimana manuver parpol besar untuk menjaga kepentingannya itu?

---------

Urusan teknis menandai surat suara bukan persoalan sepele. Masalah itu ternyata menjadi persoalan rumit dan membutuhkan debat yang panjang untuk menentukannya. Parpol berjuang mati-matian untuk meloloskan kepentingannya. Lobi berlarut-larut harus terus dilakukan. Tidak hanya antarfraksi di internal DPR, tapi juga antara DPR dengan wakil pemerintah.

Partai Golkar yang menjadi fraksi terbesar berusaha mati-matian meninggalkan pola lama, yakni mencoblos. Partai berlambang beringin itu membawa usul agar teknis menandai dengan mencontreng menggunakan pena. Sementara fraksi lain, termasuk PDIP, tetap menginginkan mencoblos. Hasil kesepakatannya, sesuai yang tertuang pada pasal 156 UU Pemilu, pemberian suara untuk pemilu anggota legislatif dilakukan dengan memberikan tanda satu kali pada surat suara.

Namun, perdebatan tak berhenti di situ. Sebab, aturan tersebut masih terlampau umum. Pilihan teknisnya tetap harus diserahkan kepada penyelenggara pemilu melalui peraturan KPU. Bola pun berpindah ke lembaga penyelenggara pemilu tersebut.

Pada awal pembahasan, KPU sempat menyatakan bahwa aturan menandai dalam UU Pemilu No 10/2008 sudah sangat jelas. Yakni, dilakukan dengan memberikan tanda satu kali pada salah satu kolom nama caleg, nomor caleg, atau nama partai.

Dalam hal ini, KPU menilai pengertian dalam UU tersebut adalah memberikan penandaan menggunakan media tulis seperti bolpoin atau spidol. Yang dipahami KPU itu sebenarnya sudah sesuai UU Pemilu 2008 yang disahkan pada Maret 2008.

Tapi, UU Pemilu diterapkan, sejumlah fraksi di DPR kembali melakukan manuver. Mereka menuntut agar KPU kembali saja pada tata cara mencoblos. Mereka berpandangan, tata cara menandai tidak bisa diaplikasikan pada Pemilu 2009 yang akan datang dalam hitungan bulan. ''Sejak awal kami sangat setuju dengan mencoblos,'' kata anggota FPDIP Yasonna Laoly saat dihubungi kemarin (4/10).

Mantan wakil ketua Pansus RUU Pemilu itu mengaku partainya memiliki kepentingan dengan diakuinya kembali teknis mencoblos sebagai salah satu alternatif sah dalam pemberian suara. ''Namun, semua itu bukan untuk kepentingan kami sendiri, tapi bangsa ini secara umum,'' ujarnya berdalih. Sebab, faktanya, menurut Yasonna, masih banyak masyarakat Indonesia yang berada di level rendah dalam hal pendidikan dan informasi.

PDIP memang termasuk paling diuntungkan oleh sistem mencoblos. Sebab, basis utama PDIP adalah masyarakat bawah yang kurang pendidikan. Apalagi, partai itu menerapkan sistem nomor urut seperti UU Pemilu.

Awalnya, KPU masih bersikukuh memakai sistem penandaan dengan mencontreng menggunakan pena. Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary pernah menyatakan, kesepakatan mencontreng sebagai tanda yang sah itu ditujukan untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan suara maupun petugas di lapangan untuk menghitung suara sah. ''Untuk penandaan ini, kami sepakat satu-satunya dengan tanda (adalah) contreng,'' katanya.

Terhadap tanda lain seperti menyilang, melingkari, atau menggaris, KPU pun merevisi pernyataannya dengan tetap mengakomodasi mencontreng saja. ''Tidak perlu ada tanda lain karena itu malah mempersulit sosialisasi kami,'' tegasnya.

Terlebih, hasil simulasi surat suara yang dilakukan KPU sebenarnya memberikan angin segar kepada KPU. Mayoritas warga yang berpartisipasi dalam simulasi di Jawa Timur dan Papua ternyata sudah memahami tata cara mencontreng.

Di Sidoarjo, Jatim, misalnya, di antara 492 warga yang ikut ''memilih'', hanya ada dua warga yang menandai surat suara dengan mencoblos. Padahal, saat itu sosialisasi mencontreng baru dilakukan KPU saat hari H simulasi.

Dengan data dan fakta tersebut, KPU sebenarnya memiliki modal kuat bahwa menandai dengan mencontreng bisa digunakan sebagai media menandai surat suara Pemilu 2009. Apalagi, dengan keyakinan yang dibawa, KPU bisa melanjutkan hasil simulasi itu dengan mengintesifkan sosialisasi cara baru menandai tersebut kepada pemilih.

Namun, konsistensi KPU itu akhirnya berkompromi dengan desakan sejumlah fraksi DPR. Demi mengakomodasi beragamnya tingkat pendidikan dan pemahaman pemilih, KPU setuju tetap mengakomodasi mencoblos sebagai salah satu alternatif pilihan.

Bukan hanya itu, pilihan menyilang, melingkari, menggaris, atau memberi tanda lain akhirnya dianggap sah oleh KPU. Tekanan dari sejumlah fraksi di DPR membuat KPU berubah pikiran. ''Bagi kami, ini bukan kompromi, namun supaya pemilih tetap diberi kesempatan menandai dengan cara apa pun tanpa mengurangi kesempatan syarat sah suara mereka,'' tegas Hafiz soal alasan dirinya ''menyerah'' kepada sejumlah fraksi di DPR.

Dia juga menyatakan penetapan UU Pemilu pada dasarnya tidak menutup peluang KPU untuk tetap mengakomodasi mencoblos. ''Kesepakatan kami, mencoblos adalah sah. Namun, itu bukan pilihan utama pada pemilu ke depan,'' ujarnya.

Ketua Fraksi Partai Demokrat (FPD) Syarief Hasan mengaku, keputusan rapat konsultasi antara KPU dengan pimpinan DPR yang menyatakan mencoblos tetap sah sesuai aspirasi mayoritas fraksi di DPR. Menurut dia, hanya Partai Golkar yang tetap menginginkan agar pengertian menandai dalam UU Pemilu hanyalah mencontreng.

Senada, Ketua FPPP Lukman Hakim Saifuddin bersyukur cara mencoblos tetap digunakan pada Pemilu 2009. Menurut dia, umumnya masyarakat kecil sebagai bagian terbesar masyarakat Indonesia memang lebih cenderung memilih metode mencoblos. ''Lebih mudah karena sudah terbiasa,'' ungkapnya.

Hanya, yang menjadi masalah, mengapa saat pembahasan UU di DPR, metode mencoblos tidak ditampung? Dan setelah jadi UU, baru pendukung pencoblosan bergerak, sehingga muncul kesan tidak konsisten dalam memahami UU. (gg.)

Kamis, 21 Agustus 2008

Mundur, Bacawali Cari Gandengan

KRC,KEDIRI-
Perpecahan dalam tubuh PKB berbuntut. Kemarin, Reza Ahmad Zahid, bakal calon wakil wali kota (bacawawali) yang diusung kubu Zen Fanani, menyatakan mundur. Padahal, sehari sebelumnya, Zen mendesak agar KPU tetap mengakomodasi pasangan Muh. Zaini-Reza.

Dalam jumpa pers di rumahnya, kompleks Ponpes Lirboyo, Reza mengakui bahwa konflik yang berkepanjangan di tubuh partai itu membuatnya bimbang. "Akhirnya, saya mengirimkan surat pengunduran diri (ke DPC PKB) pukul sebelas tadi (kemarin siang, Red)," ujar putra sulung KH Imam Yahya Mahrus ini. Dia juga mengirimkan surat ke KPU Kota Kediri sebagai pemberitahuan.

Namun, pengunduran diri itu bukan bermakna Reza tak berminat lagi untuk meramaikan bursa pilwali. Dia mengaku siap digandeng calon lain yang berminat. Itu berarti, peluangnya ada pada masa perbaikan bakal calon. Waktunya sampai Sabtu (23/8) lusa. "Kalau ada truk atau mobil lewat, saya akan nggandol. Itu kan lebih aman," dalihnya.

Untuk diketahui, pada masa perbaikan itu, setiap parpol pengusung memang dimungkinkan untuk mengganti calonnya jika menghendaki. Bahkan, mereka harus melakukannya jika calon yang bersangkutan dalam posisi kritis. Artinya, besar kemungkinan dinyatakan tidak lolos oleh KPU akibat tidak memenuhi salah satu syarat. Misalnya, tersandung ijazah atau tes kesehatan.

Dan, saat ini, dari sembilan pasang bakal calon, ada tiga orang yang diharuskan mengikuti tes pendalaman kesehatan. Yaitu Bambang Edianto (pasangan Rinto Harno), Sholahuddin Fathurrahman (pasangan Iwan Boedianto), dan Martanty Soenar Dewi (bacawali pasangan Ahmad Salis).

Lalu, apakah sudah ada parpol pengusung yang berniat menggandeng dirinya? Reza menggeleng. Sampai kemarin, belum ada parpol yang menawari. Termasuk PKB pimpinan Arifin Asror yang mengusung duet Iwan Boedianto-Sholahuddin Fathurrahman.

Tapi, kalaupun ditawari, Reza tidak menolaknya. Sebab, semua calon mempunyai potensi dan kelebihan masing-masing. "Peluang tetap terbuka," kata pemuda yang sebelumnya berpasangan dengan mantan Sekkota Muh. Zaini ini.

Tentang pengunduran dirinya itu, Reza mengaku belum berkomunikasi dengan Zaini. Dia merasa tak berkewajiban melakukannya karena mereka berangkat sendiri-sendiri. Meski demikian, dia memastikan bahwa Zaini memiliki perasaan yang sama. Yaitu, bimbang atas pencalonannya mengingat konflik PKB yang tak kunjung selesai. Sayang, Zaini belum bisa dikonfirmasi mengenai hal ini. Beberapa kali dihubungi melalui ponselnya tidak diangkat.

Secara terpisah, Zen Fanani mengatakan, sudah mendengar pengunduran diri Reza. Tapi, dia belum membaca suratnya. Untuk menyikapinya, tadi malam DPC menggelar rapat. Yang jelas, mereka akan mencari bacawawali baru untuk mendampingi Zaini. "Tentang figurnya masih kami rapatkan. Kami optimistis tetap bisa (mengajukan calon)," kata Zen yang sehari sebelumnya mendesak KPU agar tetap mengakomodasi Zaini-Reza dalam pencalonan.

Adapun Ketua KPU Kota Kediri Agus Rofik mengaku sudah menerima tembusan surat pengunduran diri Reza. Meski demikian, semua keputusan tetap dikembalikan kepada parpol. KPU hanya sebatas mengetahui. "Sekarang kan juga belum masuk tahap penetapan," ujarnya.

Lalu, bagaimana hasil verifikasi dari masing-masing calon? Hingga kemarin, ungkap Rofik, masih ada beberapa kandidat yang mengirimkan kelengkapan berkas pendaftarannya. Antara lain ijazah dan surat pernyataan tidak pailit dari pengadilan tata niaga.

Tentang yang lolos, baru akan diketahui pada masa penetapan, 31 Agustus hingga 4 September. Apalagi, saat ini, hasil pendalaman tes kesehatan Bambang Edianto, Martanty Soenar Dewi, dan Sholahuddin Fathurrahman juga belum keluar. "Tes kesehatan ikut menjadi pertimbangan dalam penetapan," kata Rofik. (ii)

Selasa, 19 Agustus 2008

Perseteruan di Golkar Aries Tetap Pegang Kendali

KRC,MALANG -
Tahta ketua DPD Partai Golkar (PG) Kota Malang tetap diduduki Aries Pudjangkoro. Itu setelah hasil intermediasi dua kubu (anti dan pro-Aries) di DPD I PG Jatim menyatakan secara legalitas Aries tetap ketua Golkar Kota Malang. Ditemui di kantor DPD II PG Kota Malang kemarin, Aries menegaskan legalitas DPD I menjadi bukti bahwa upaya penggulingan oleh massa anti-Aries tak sesuai jalur. "Intermediasi digelar 17 Agustus lalu di kantor DPD I. Hadir beberapa elemen. Termasuk yang anti-saya," ujarnya.Praktis, dengan adanya legalitas tersebut, kader PG dari kalangan apa pun tak perlu lagi berkonflik. Pasalnya, muara semua persoalan telah jelas. Yakni, Aries tetap memimpin DPD II PG Kota Malang sampai masa jabatannya habis 2009 nanti. "Semua masalah sudah selesai. Sekarang konsentrasi Pemilu 2009. Semua komponen juga sudah diakomodasi," ungkap dia.Komponen yang dimaksudkan Aries adalah semua kader Golkar. Baik yang pro maupun anti-Aries. Bahkan, Aries mengklaim beberapa kader yang sempat menuntut mundur mulai menampakkan diri ke kantor Golkar dan bergabung. Saat membeberkan kondisi itu, Aries menunjuk kumpulan kader PG Kota Malang yang sibuk mengisi blanko pendaftaran calon legislatif (caleg) 2009. "Lihat saja, semua sudah tak ada masalah. Dan kalau ingin kembali ke DPD, tak perlu dengan aksi karena ini rumah mereka juga," ucap dia.Disinggung soal pengaduan Agus Sukamto ke Polresta Malang terkait pemalsuan surat usulan Fraksi Partai Golkar (FPG) sebagai alat kelengkapan dewan 5 April 2007 lalu, Aries menyikapi santai. Bahkan, ia mengaku senang dengan tuntutan Agus. Alasannya, semakin jelas bahwa orang-orang yang anti-dirinya cenderung menempuh langkah di luar jalur organisasi. "Itu murni politik. Tidak ada apa-apanya. Kasus seperti menjadi asam garam dalam perpolitikan," tandas Aries. Ditemui terpisah, Ahmad Taufik Bambang D.H.T mengatakan, saat ini Aries boleh berlega hati karena DPD I memihak Aries. Namun, kader-kader yang merasa tidak sejalan dengan ketua FPG DPRD Kota Malang itu akan terus bergerak. Salah satunya, eksodus atau membelokkan dukungan ke partai lain. "Banyak kader yang mengungkapkan hal itu kepada saya. Salah satunya lewat SMS," kata Bambang.Kemarin, di halaman gedung DPRD, sekretaris AMPG (Angkatan Muda Partai Golkar) Kota Malang itu sempat menunjukkan bunyi SMS dari salah satu pimpinan kader. Isinya menyatakan bukan masalah Aries tetap memimpin DPD PG Kota Malang. Hanya saja, kader golongan ini tak butuh wakil lagi di gedung dewan. Bahkan, dalam SMS itu, disebutkan kader tersebut akan membawa semua jamaahnya. "Siapa lagi kalau sudah membawa jamaah," ujar anggota komisi B itu merahasiakan pengirim SMS.Bambang juga membenarkan ancaman eksodus beberapa kader. Bahkan, eksodus itu telah terlihat saat Pilkada Kota Malang belum lama ini. Saat itu, Aries yang berpasangan dengan Mohan Katelu (PAN) idealnya bisa mengantongi 16 persen suara. Sebab, Golkar sendiri memiliki 12 persen suara kader dari total warga yang memiliki hak pilih. Sedangkan PAN memiliki 4 persen suara. Namun, koalisi Golkar-PAN itu hanya mampu mendulang 8 persen suara. "Ini bisa terulang kembali jika ketua DPD PG masih Aries," tandasnya. (yy)

Minggu, 10 Agustus 2008

Caleg Artis Salin Kritik

KRC, JAKARTA -
Peta Pemilihan Legislatif 2009 mendatang bakal semakin marak dengan para bintang panggung hiburan. Para artis yang mencoba menjadi caleg (calon legislatif) itu tersebar di sejumlah partai. Mereka mengandalkan popularitas untuk menjadi anggota DPR di Senayan. Kritik terhadap banjir artis itu datang dari kalangan artis sendiri. Nurul Arifin, bintang film yang juga politisi Golkar, mengkritik rekan-rekannya yang sekadar ikut-ikutan. Menurut dia, sebagian artis itu hanya mengandalkan popularitas untuk lolos. Nurul meragukan mereka memiliki kualitas sebagai seorang caleg yang sesungguhnya."Menjadi caleg itu memimpin, apakah artis sekarang siap maju sebagai pemimpin," kritik Nurul usai menjadi pembicara dalam sebuah diskusi di Jakarta kemarin (7/8).Saat ini belasan selebriti digadang-gadang sejumlah parpol untuk maju sebagai caleg. Misalnya, Wulan Guritno dan Eko Patrio yang akan maju sebagai caleg Partai Amanat Nasional. PAN memang termasuk yang paling banyak mengandalkan artis untuk menggaet massa. Selain itu, Kristina maju dengan bendera Partai Persatuan Pembangunan, menggantikan suaminya, Al Amin Nasution.Fenomena artis ramai-ramai ke dunia politik itu bukan hal baru. Pada Pemilu 2004, sejumlah artis juga sudah nyaleg. Bahkan, beberapa di antara mereka lolos ke Senayan, seperti Adji Massaid dan Angelina Sondakh yang lolos lewat Partai Demokrat. Juga Dede Yusuf yang kini menjadi Wagub Jabar, sebelumnya adalah anggota DPR dari PAN. Nurul Arifin pun sudah maju pada 2004 lewat Partai Golkar. Dia maju menjadi caleg wilayah Purwakarta dan Karawang, Jabar. Tapi, dia gagal karena suaranya tak mencukupi. Nurul mengatakan, kapasitas seorang caleg jauh berbeda dibandingkan dengan seorang artis. Seorang caleg diukur bagaimana dia menunjukkan kualitas diri mewakili konstituennya. Sementara artis hanya diukur berdasarkan popularitas yang dimiliki. "Sayang, saat ini popularitas artis dipolitisasi sebagai wujud kualitasnya," ujarnya.Fenomena itu, lanjut Nurul, hanyalah bentuk promosi setiap parpol untuk menjaring suara. Beberapa parpol yang jor-joran mengajukan caleg artis saat ini, tampaknya, ingin menghemat modal mereka. "Padahal, yang dibutuhkan saat ini adalah bagaimana artis itu mampu meng-empower dirinya," terangnya. (tt)


.

Kamis, 21 Februari 2008

Hanura Serahkan Berkas Ferifikasi



JAKARTA - Kurang satu pekan batas akhir penyerahan syarat kelengkapan parpol ke Depkum HAM. Nyatanya, masih banyak parpol yang belum melengkapi persyaratan yang ditetapkan. Hingga kemarin (21/2), misalnya, baru tiga parpol yang menyerahkan persyaratan kelengkapan parpol untuk mendapatkan status badan hukum. Ketiga parpol tersebut adalah Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Buruh, dan Partai Hanura. Jumlah itu sangat kecil dibanding yang telah mendaftar di Depkum HAM yang mencapai 107 parpol. "Saya ingatkan, batas akhirnya 27 Februari. Tinggal enam hari lagi," ujar Dirjen Administrasi Hukum Umum Depkum HAM Syamsudin Manan Sinaga.Sesuai UU No 2/2008 tentang Parpol, untuk mendapatkan status sebagai badan hukum, parpol minimal memiliki kepengurusan di 60 persen dari jumlah provinsi, 50 persen dari jumlah kabupaten/kota, dan 25 persen dari jumlah kecamatan dalam setiap kabupaten/kota. Hal itu berdasarkan aturan dalam pasal 3 ayat (2) UU tersebut.Kepengurusan tersebut dibuktikan dengan menunjukkan surat keterangan dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbang) setempat. "Setelah batas akhir (penyerahan kelengkapan), Depkum HAM akan melakukan verifikasi," jelas Syamsudin.Kemarin Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) memang menyerahkan berkas kelengkapan persyaratan parpol ke panitia verifikasi parpol Depkum HAM. Bahkan, berkas Hanura diserahkan langsung oleh ketua umumnya, Wiranto, kepada Syamsudin Manan, yang kemarin didampingi Direktur Tata Negara AHU Aidir Amin Daud.Partai Hanura menyerahkan berkas kepengurusan di 33 provinsi yang dilampiri surat keterangan dari Bakesbangpol. Selain itu, berkas kepengurusan di 345 kabupaten/kota serta 2564 kecamatan. "Berkas yang kami serahkan sudah melampaui batas minimal yang disyaratkan undang-undang," kata Wiranto.Wiranto yakin dengan desain yang berbeda, parpol yang dipimpinnya mampu mendapat banyak dukungan dari masyarakat. Yang dikedepankan Hanura adalah hati nurani untuk kepentingan masyarakat. "Janji kami hanya untuk bekerja secara baik," katanya. Turut dalam rombongan mantan panglima TNI itu, antara lain, Sekjen Partai Hanura Yus Usman Sumanegara. Ratusan simpatisan juga ikut dalam iring-iringan dari kantor DPP Partai Hanura di Jalan Diponegoro hingga ke kantor Depkum HAM ,Jalan Rasuna Said. (fal/mk)

Senin, 11 Februari 2008

Caleg Terpilih Maksimal 10% BPP

KRC, JAKARTA -
Pengalaman penerapan sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2004 harus menjadi pelajaran berharga. Sebab, kendati "mengklaim" diri sebagai sistem terbuka, realitasnya tetap seperti sistem proporsional tertutup. "Terbuka tinggal namanya saja," kata peneliti senior LIPI Syamsuddin Haris ketika dihubungi kemarin (10/2).Dalam sistem tertutup, seorang caleg terpilih ditetapkan berdasar nomor urut. Sebaliknya, dalam sistem terbuka, seorang caleg dinyatakan terpilih bila perolehan suaranya mencapai BPP (bilangan pembagi pemilih). Nilai BPP diperoleh dengan membagi jumlah penduduk suatu dapil (daerah pemilihan) dengan jumlah kursi yang diperebutkan di dapil tersebut. Singkat kata, BPP merupakan harga satu kursi.Namun, realitasnya, ungkap Harris, hanya dua anggota DPR yang pada Pemilu 2004 sukses mencapai standar BPP di dapilnya. Masing-masing Hidayat Nurwahid (PKS) dari dapil Jakarta II dan Saleh Djasit (Partai Golkar) dari dapil Riau. Sebaliknya, 548 wakil rakyat yang lain benar-benar terpilih atas dasar keberuntungan berada di posisi nomor urut jadi atau teratas.Aturan main dalam sistem proporsional terbuka memang seperti itu. Ketika tak ada caleg suatu partai tertentu yang perolehan suaranya mencapai BPP, sementara masih ada jatah kursi yang dimenangkan partainya di dapil itu, kursi tak bertuan itu langsung didistribusikan sesuai nomor urut calegnya. Penentuannya mulai dari yang posisi teratas.Karena itulah, terpikir untuk memodifikasi ketentuan proporsional terbuka yang menggariskan pencapaian 100 persen dari BPP. Namanya proporsional terbuka terbatas. Disebut terbatas karena nilai persentase pencapaian BPP yang ditentukan tidak penuh seratus persen. Nilai persentase itulah yang sekarang menjadi sumber perdebatan alot di DPR.Menurut Haris, persentase BPP harus ditetapkan serendah-rendahnya. Sebab, bila masih terlalu tinggi, dia khawatir, tidak realistis untuk dipenuhi para caleg. Ujung-ujungnya, logika ke nomor urut akan kembali mendominasi. "Kalau 25 persen, caleg yang bisa mencapainya masih terlalu sedikit. Jadi, sebaiknya lebih kecil lagi," tandasnya.Saat ini fraksi-fraksi di DPR memang cenderung kepada angka 25 persen. Bahkan, belakangan ini malah kemungkinan naik alias bertambah menjadi 30 persen.Harris menyebut, UU Pemilu pasti diputuskan secara politik, bukan mengikuti nalar akademis. "Pasti ada kepentingan yang ikut bermain," ujarnya. Terutama, kepentingan elite partai untuk tetap memegang kendali atas caleg-calegnya melalui nomor urut. Karena itu, bila sistem proporsional terbatas diberi standar persentase BPP cukup tinggi, potensi penentuan caleg terpilih kembali ke nomor urut cukup besar.Kendati begitu, Harris tetap berharap kepentingan politik sempit itu tidak mendominasi kepentingan bangsa yang lebih besar. "Bukankah kita ingin membangun sistem politik yang kuat, baik, dan demokratis?" ujarnya.Direktur Cetro (Center for Electoral Reform) Hadar Navis Gumay menambahkan, idealnya Pemilu 2009 menerapkan sistem proporsional terbuka murni. Penetapan caleg terpilih melalui kompetisi perolehan suara terbanyak di internal parpol masing-masing di setiap dapil. Jadi, begitu partai A menang dua kursi di dapil tertentu, dua kursi itu langsung diberikan kepada dua caleg yang memperoleh suara tertinggi di partai A itu.Namun, berhubung parpol-parpol di DPR cenderung ingin tetap menggunakan sistem proporsional terbuka terbatas, tegas Hadar, persentase BPP yang paling aman adalah 10 persen. "Itu paling top," katanya.(jj)

Jumat, 08 Februari 2008

Pemberlakuan PT Akan Mematikan Partai Kecil


KRC, Jakarta
- Gagasan parliamentary threshold (perolehan kursi minimal) parpol dianggap belum waktunya diterapkan pada Pemilu 2009. Dalam iklim kepartaian yang belum stabil, penerapan parliamentary threshold (PT) tersebut dikhawatirkan hanya membunuh peluang partai-partai kecil dan partai baru untuk mendudukkan wakilnya di parlemen."Penerapan PT itu terlalu kejam," ujar mantan anggota KPU Valina Singka Subekti dalam diskusi bertajuk Banyak Gagasan, Akan ke Mana Pemilu Kita di Hotel Santika kemarin (8/2). Sebab, dengan parliamentary threshold, hanya partai yang perolehan kursinya mencapai persentase tertentu yang bisa masuk parlemen. Kekurangan satu kursi saja dari standar yang sudah ditentukan bisa mengganjal langkah partai bersangkutan. PT dua persen saja sudah setara dengan sebelas kursi. Bila partai tertentu hanya sukses memenangkan sepuluh kursi, konsekuensinya, partai itu kehilangan hak untuk menduduki parlemen. Ada pun sepuluh kursinya dianggap hangus. "Makanya, penyederhanaan partai itu sebaiknya tetap dilakukan secara alamiah melalui electoral threshold (ET)," ungkapnya. Dengan demikian, berapa pun kursi yang dimenangkan partai tidak memengaruhi hak untuk menempatkan wakilnya di parlemen. Namun, partai yang perolehan suaranya tidak mampu mencapai persentase tertentu dari ET memiliki konsekuensi tidak bisa ikut pada pemilu selanjutnya.Berbeda pandangan, peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menilai sudah saatnya PT diterapkan. Sebab, penerapan ET terbukti gampang "diakali" partai. Mereka yang gagal menembus ET banyak yang menyiasati melalui pembentukan parpol baru dengan sekadar mengganti nama dan lambang.Akibatnya, visi nasional untuk penyederhanaan partai tidak tercapai. "ET jadi tidak efektif karena hanya dipermainkan politisi," ungkapnya. Apalagi, kata dia, konsepsi ET di Indonesia sudah dimaknai dengan salah kaprah. Di negara lain yang demokrasinya lebih maju, ET menentukan apakah parpol punya wakil atau tidak di parlemen. Namun, di Indonesia, ET justru menentukan bisa tidaknya parpol mengikuti pemilu berikutnya. Itu pun bisa diakali partai-partai yang gagal lolos ET dengan sekadar mengganti baju."Jadi, sampai kapan begini terus? Kendati sadis, penerapan PT harus dimulai dari persentase kecil, yakni satu persen," tegasnya.Direktur Cetro Hadar Navis Gumay menambahkan, PT memang harus segera diterapkan. Selain untuk menyaring parpol yang benar-benar serius dan memiliki basis, fragmentasi dewan bisa diminimalkan. Sebab, tidak banyak terbentuk kelompok yg terlalu kecil di parlemen. "Perjuangan parlemen bisa lebih efektif," ujarnya.Tapi, dia mengusulkan agar standar PT mengacu pada jumlah perolehan suara, bukan perolehan kursi. "Jadi, begitu penghitungan suara selesai, langsung diketahui partai mana yang bisa masuk DPR, mana yang tidak," katanya. (pri)

Kamis, 31 Januari 2008

Mega SBY Salin Ledek


KRC,PALEMBANG -

Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri kembali mengecam kebijakan pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kali ini yang menjadi sasaran kritik mantan presiden kelima RI itu adalah kebijakan SBY memerangi kemiskinan. "Pemerintahan saat ini, saya melihat seperti penari poco-poco. Maju satu langkah, mundur satu langkah. Maju dua langkah, mundur dua langkah. Kadang malah hanya jalan di tempat," kata Megawati dalam pidato politik ulang tahun ke-35 PDIP di GOR Sriwijaya Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), kemarin (31/1).Tentu saja sindiran Mega itu memanaskan kubu Presiden SBY. Partai Demokrat, partainya SBY, melalui ketua fraksinya di DPR Sutan Bataghoena balik menuding Megawati. "Kalau kebijakan SBY tentang pemberantasan kemiskinan ibarat penari poco-poco, Megawati ibarat penari undur-undur. Tidak pernah maju, tetapi mundur terus," kata Sutan di Jakarta, kemarin. Dia menarik ke belakang saat Megawati kalah dari SBY dalam pemilihan Presiden 2004. Kalau pemerintahan Megawati berhasil, mestinya dia menang dari SBY. Karena ternyata Megawati kalah, alias tidak dipilih kembali oleh rakyat Indonesia, itu artinya kebijakan dia gagal. "Jadi, introspeksilah sebelum mengkritik," kata Sutan. PDIP, menurut Megawati, menilai pemerintahan hasil Pemilu 2004 tidak konsisten menjalankan implementasi kebijakan menuntaskan kemiskinan. Kebijakan itu tidak berjalan dengan baik. Terkesan tidak ada prioritas. "Artinya, pemerintah tidak berpihak kepada rakyat," tuding Mega kepada SBY.Dia juga mengajak seluruh kader PDIP dan masyarakat Indonesia untuk menagih janji pemerintahan SBY-JK seperti tertuang dalam Peraturan Presiden No 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), yang salah satunya soal pengentasan kemiskinan."Dalam RPJM, selama 2005-2009, pemerintah menargetkan pengentasan kemiskinan dari 35 juta penduduk menjadi 18,8 juta. Fakta pada 2006 jumlah penduduk miskin malah mencapai 3,9 juta meski 2007 turun menjadi 37,1 juta, PDIP tidak yakin dalam sisa waktu ini target 18,8 juta akan tercapai," katanya.Selain soal pengentasan kemiskinan, Megawati mengkritisi sejumlah kebijakan pemerintah SBY-JK seperti kebijakan impor beras dan kedelai, konversi minyak tanah ke gas, dan kebijakan perjanjian pertahanan Indonesia-Australia.Dalam pidato politiknya itu, Megawati juga menyatakan tekadnya untuk menjadikan PDIP sebagai partai oposisi dan penyeimbang berbagai kebijakan pemerintah, sehingga kebijakan yang dihasilkan adalah kebijakan yang pro pada rakyat. "PDIP tidak asal melakukan oposisi yang apriori, tapi ingin melaksanakan oposisi yang loyal sesuai dengan Pancasila dan UUD 45," katanya.Untuk itu Mega kembali menegaskan sikap PDIP sebagai partai terbuka yang siap berkoalisi dengan siapa pun pada pemilu mendatang. "Sebagai rumah besar kaum nasionalis, PDIP membuka diri dengan darah segar dari luar, selama darah segar itu memiliki ideologi yang sama dan bisa menjadi nilai tambah partai," tegasnya.Acara HUT Ke-35 sendiri berlangsung meriah, dihadiri ribuan undangan, anggota, dan simpatisan PDIP. Puan Maharani, ketua panitia nasional HUT PDIP, mengatakan, ada 14 ribu undangan yang hadir. "Itu belum termasuk 25 ribu anggota dan simpatisan PDIP di luar GOR," katanya.Di antara undangan tampak sejumlah pimpinan partai politik. Ada Surya Paloh, Theo L. Sambuaga dan Sumarsono (Golkar). Ada Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali dan Ketua Umum Partai Bintang Reformasi Bursah Zarnubi.Selain pimpinan partai politik, hadir Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimmy Asshiddiqie, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dien Syamsuddin, Ryamrizad Ryacudu, Sarwono Yudhohusodo, Rieke Dyah Pitaloka, Dedi Gumelar serta beberapa kepala pemerintah daerah di Indonesia.Acara juga dimeriahkan penampilan 3425 anggota kelompok rebana di Palembang yang memecahkan rekor Muri (Museum Rekor Indonesia). "Targetnya 5000 penabuh rebana. Tapi, hanya ada 3425 orang. Jumlah ini sudah memecahkan rekor Muri yang rekor sebelumnya dipegang kelompok rebana di Pasuruan dengan 3229 penabuh," kata Puan. SBY Tak Mau Disebut Poco-PocoDisindir kebijakannya seperti menari poco-poco, pihak istana langsung bereaksi. Juru Bicara Kepresidenan Andi Alfian Mallarangeng mengatakan, kebijakan yang diambil Presiden SBY selalu konkret. Tidak berjalan di tempat, seperti yang digambarkan Megawati sebagai tari poco-poco.Menurut Andi, pengandaian Mega tidak tepat. "Itu bukan tari poco-poco," ujar Andi kemarin (31/1). Andi tetap bergurau menanggapi kritik Mega tersebut. Sebab, tari poco-poco merupakan kesenian khas Indonesia yang banyak digemari masyarakat. "Saya senang juga dengan pengandaian Ibu Mega karena poco-poco tarian asli dari Sulawesi," terang Andi.Langkah pemerintah, kata Andi, terus mengalami kemajuan. Hasil yang dicapai juga konkret dan bisa diukur. Saat ini, kata Andi, pemerintah berusaha keras mengantisipasi kemungkinan krisis ekonomi.(jpnn/don)

Dewan Panggil BPK Adanya Dugaan Penyelewengan

KRC,JAKARTA -
Pimpinan DPR akan meminta agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan penjelasan atas temuan dugaan penyelewengan penggunaan anggaran oleh sekretariat jenderal (setjen). Menurut Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, pihaknya akan meminta agar BPK melakukan audit investigatif atas dugaan penyelewengan yang berpotensi merugikan negara hingga Rp 25 miliar tersebut.Ditemui sebelum memimpin rapat Badan Musyawarah DPR kemarin (31/1), Muhaimin mengaku telah menerima konfirmasi dari Plt Sekjen DPR Nining Indra Saleh tentang temuan BPK itu. Dari laporan tersebut, kata dia, Sekjen mengklaim bahwa semua temuan BPK itu telah berujung pada penihilan. "Hanya, kami kan nggak paham apa arti penihilan itu," ujarnya.Sekjen juga mengklaim bahwa hasil temuan BPK hanya merekomendasikan agar kelebihan biaya pada sejumlah kemahalan pengerjaan proyek dikembalikan ke negara oleh pengusaha pemenang tender. Untuk mengimbangi klaim Sekjen tersebut, pimpinan DPR akan melakukan rapat dan memutuskan jadwal mengundang BPK. "Bisa saja ditelusuri. Cukup rapat pimpinan saja, kami akan undang BPK," kata ketua umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa tersebut. Muhaimin juga mengungkapkan, selama ini pimpinan kurang cermat mengontrol laporan BPK. Pengkajian laporan BPK dilakukan ketika terjadi penyelewengan atas pengadaan barang dan jasa di lingkungan DPR. "Kami menerima laporan yang tebalnya segini (sambil menunjukkan dengan tangan, Red). Tapi, wewenang kontrolnya ada di BPK atau BPKP," tegasnya.Desakan pengusutan tuntas atas temuan BPK tersebut juga dinyatakan Sekjen Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang. Dia menilai, mekanisme pengajuan permintaan audit investigatif oleh BPK terlalu rumit karena harus mendapat persetujuan pimpinan DPR. "Kalau berharap pada pimpinan DPR, ada birokrasi yang berbelit," katanya pesimistis.Dia melihat pimpinan DPR selalu enggan membuka diri secara internal ketika terjadi penyelewengan. Padahal, perbaikan citra DPR bergantung pada komitmen pimpinan sebagai speaker dewan sekaligus pihak-pihak yang mempunyai wewenang mengambil keputusan ke luar. Karena itu, jika dugaan penyelewengan tersebut sudah menjadi temuan BPK, seharusnya bisa langsung ditindaklanjuti aparat penegak hukum. Dalam kasus korupsi, tidak berlaku delik aduan. "Jadi, kalau sudah ada indikasi kuat melakukan korupsi, patut dituntut secara hukum," tegasnya.Pada kajian hasil pemeriksaan semester I tahun anggaran 2007, BPK menemukan 25 proyek pengadaan yang mengindikasikan terjadinya penyelewengan. Temuan tersebut terlihat dalam laporan Hapsem II/2005, Hapsem I/2006, dan Hapsem I 2007. Dugaan kerugian negara mencapai Rp 25 miliar.Direktur Pusat Studi dan Hukum Indonesia (PSHK) Bvitri Susanti menyatakan, permasalahan setjen DPR sering terjadi karena mekanisme perekrutan staf sudah salah sejak awal. Menurut dia, pegawai setjen DPR seharusnya direkrut melalui internal DPR, tidak lagi dipasok dari pemerintah (PNS). "Pegawai parlemen itu bukan pegawai eksekutif," tegasnya. (don)

Jumat, 18 Januari 2008

Mendagri Lantik PJS Gubernur Sulsel




KRC, Jakarta


- Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, Sabtu (19/1) pagi besok dijadwalkan akan melantik Pejabat Sementara (Pjs) Gubernur/Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) Mayjen TNI Tanri Bali Lamo, putera mantan Gubernur Sulsel Achmad Lamo.
Sebelum dilantik menjadi Pjs Gubernur Sulsel oleh Mendagri di Gedung Depdagri, Tanri Bali akan diangkat terlebih dulu menjadi salah seorang Staf Ahli Mendagri.
Putera mantan Gubernur Sulsel Achmad Lamo, ditunjuk menjadi Pjs Gubernur. Saat ini, Tanri masih menjabat sebagai Asisten Personil Kepala Staf TNI-AD, Demikian informasi yang diterima Kompas di Istana Wapres, Jakarta, Jumat (18/1) sore tadi.
Menurut sumber tersebut, seusai dipanggil Presiden Yudhoyono, Jumat (18/1), Tanri datang menemui Wapres Kalla di Istana Wapres, untuk melapor dan mendapat pengarahan mengenai tugas barunya.
Tanri juga sempat bertemu sekitar satu jam dengan Sekretaris Wapres Tursandi Alwi di ruang kerjanya. Pertemuan Tanri dengan Wapres Kalla dan Tursansi sama sekali tidak diketahui oleh pers.
"Tanri Bali kemarin siang ditelpon Presiden, untuk menduduki tugas barunya," tambah sumber tersebut. Sebelumnya, dua nama calon Pjs Gubernur yang dijagokan adalah Direktur Jenderal Otonomi Daerah Depdagri Sodjoangun Situmorang dan mantan Panglima Kodam Brawidjaya Letjen TNI Syamsul Mapareppa.(don)

mantan Wagub DKI Bang yos di PKB







KRC, JAKARTA -

Sutiyoso terus mencari panggung politik menjelang pemilihan presiden 2009. Mantan gubernur DKI Jakarta itu memaparkan konsepnya untuk menangani bencana banjir dalam diskusi yang digelar Fraksi Kebangkitan Bangsa di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, kemarin (17/1).Menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk Banjir Besar…Apa Solusinya? itu, Sutiyoso melihat permasalahan mendasar penanganan bencana adalah konsistensi pemerintah. Program yang disusun baik oleh pemerintah daerah maupun pusat tidak pernah dilakukan secara maksimal. Pria yang akrab disapa Bang Yos itu mencontohkan konsep megapolitan kreasinya. Dia menilai pemerintah pusat terkesan ngotot menggagalkan program tersebut dengan berbagai alasan. "Padahal, tidak ada yang dirugikan dengan megapolitan. Kota inti (Jakarta, Red) yang menyatu secara geografis dengan kota-kota penyangganya," terang tokoh yang sudah mendeklarasikan diri sebagai calon presiden 2009 tersebut.Konsep megapolitan, lanjut Bang Yos, dirancang agar penyelesaian masalah banjir bisa lebih komprehensif. Sebab, banjir di Jakarta tidak hanya disebabkan perilaku masyarakat Jakarta. Lebih dari itu, banjir kiriman merupakan masalah kota penyangga Jakarta seperti Bogor yang letak geografisnya lebih tinggi. Pemerintah daerah kota penyangga Jakarta juga dinilai ogah-ogahan bertindak tegas menertibkan bangunan di daerah serapan air yang banyak dibangun vila-vila milik pejabat.Mantan Pangdam Jaya tersebut juga mengkritik pemerintah pusat karena tidak mau rugi dalam menjalankan program penanganan pascabencana. Misalnya, dalam program relokasi warga penghuni bantaran sungai. Menurut dia, ada sekitar 71 ribu warga yang perlu direlokasi dari bantaran sungai. Sementara Pemda DKI Jaya hanya mampu membangun rumah susun 2.500 unit per tahun. Artinya, perlu 35 tahun untuk menyelesaikan masalah relokasi di Jakarta. "Tapi, pemerintah pusat tidak mau kasih duit. Tidak mau ikut bertanggung jawab," tandasnya. Sepakat dengan Sutiyoso, Sekretaris Jenderal DPP PKB Zanuba Arifah Chafsoh berpendapat, pemerintah tidak punya konsep yang baik dalam menangani masalah bencana. Dari data yang ada pada 2006-2007, terjadi 3.647 bencana alam di Indonesia. Bencana alam tersebut memakan korban 2.232 jiwa. "Dan yang terakhir tanah longsor di Karanganyar menelan korban 65 jiwa," tambahnya. Hal itu, lanjutnya, menunjukkan pemerintah tidak tanggap darurat akan terjadinya bencana.Kritik terhadap pemerintah juga ditujukan atas kelalaiannya membentuk badan nasional penanggulangan bencana. Padahal, pembentukan badan tersebut merupakan amanat UU 24/2004 tentang Penanganan Bencana. Menurut UU itu, pemerintah mempunyai waktu hingga Oktober 2007 untuk membentuk badan tersebut. "Beberapa waktu lalu kita masih melihat adanya korban bencana meninggal karena kedinginan dan kelaparan," tandas putri sulung Gus Dur itu.(don/ck)