KRC,JAKARTA -
Pimpinan DPR akan meminta agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan penjelasan atas temuan dugaan penyelewengan penggunaan anggaran oleh sekretariat jenderal (setjen). Menurut Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, pihaknya akan meminta agar BPK melakukan audit investigatif atas dugaan penyelewengan yang berpotensi merugikan negara hingga Rp 25 miliar tersebut.Ditemui sebelum memimpin rapat Badan Musyawarah DPR kemarin (31/1), Muhaimin mengaku telah menerima konfirmasi dari Plt Sekjen DPR Nining Indra Saleh tentang temuan BPK itu. Dari laporan tersebut, kata dia, Sekjen mengklaim bahwa semua temuan BPK itu telah berujung pada penihilan. "Hanya, kami kan nggak paham apa arti penihilan itu," ujarnya.Sekjen juga mengklaim bahwa hasil temuan BPK hanya merekomendasikan agar kelebihan biaya pada sejumlah kemahalan pengerjaan proyek dikembalikan ke negara oleh pengusaha pemenang tender. Untuk mengimbangi klaim Sekjen tersebut, pimpinan DPR akan melakukan rapat dan memutuskan jadwal mengundang BPK. "Bisa saja ditelusuri. Cukup rapat pimpinan saja, kami akan undang BPK," kata ketua umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa tersebut. Muhaimin juga mengungkapkan, selama ini pimpinan kurang cermat mengontrol laporan BPK. Pengkajian laporan BPK dilakukan ketika terjadi penyelewengan atas pengadaan barang dan jasa di lingkungan DPR. "Kami menerima laporan yang tebalnya segini (sambil menunjukkan dengan tangan, Red). Tapi, wewenang kontrolnya ada di BPK atau BPKP," tegasnya.Desakan pengusutan tuntas atas temuan BPK tersebut juga dinyatakan Sekjen Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang. Dia menilai, mekanisme pengajuan permintaan audit investigatif oleh BPK terlalu rumit karena harus mendapat persetujuan pimpinan DPR. "Kalau berharap pada pimpinan DPR, ada birokrasi yang berbelit," katanya pesimistis.Dia melihat pimpinan DPR selalu enggan membuka diri secara internal ketika terjadi penyelewengan. Padahal, perbaikan citra DPR bergantung pada komitmen pimpinan sebagai speaker dewan sekaligus pihak-pihak yang mempunyai wewenang mengambil keputusan ke luar. Karena itu, jika dugaan penyelewengan tersebut sudah menjadi temuan BPK, seharusnya bisa langsung ditindaklanjuti aparat penegak hukum. Dalam kasus korupsi, tidak berlaku delik aduan. "Jadi, kalau sudah ada indikasi kuat melakukan korupsi, patut dituntut secara hukum," tegasnya.Pada kajian hasil pemeriksaan semester I tahun anggaran 2007, BPK menemukan 25 proyek pengadaan yang mengindikasikan terjadinya penyelewengan. Temuan tersebut terlihat dalam laporan Hapsem II/2005, Hapsem I/2006, dan Hapsem I 2007. Dugaan kerugian negara mencapai Rp 25 miliar.Direktur Pusat Studi dan Hukum Indonesia (PSHK) Bvitri Susanti menyatakan, permasalahan setjen DPR sering terjadi karena mekanisme perekrutan staf sudah salah sejak awal. Menurut dia, pegawai setjen DPR seharusnya direkrut melalui internal DPR, tidak lagi dipasok dari pemerintah (PNS). "Pegawai parlemen itu bukan pegawai eksekutif," tegasnya. (don)
Kamis, 31 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar