
KRC, Jakarta
- Gagasan parliamentary threshold (perolehan kursi minimal) parpol dianggap belum waktunya diterapkan pada Pemilu 2009. Dalam iklim kepartaian yang belum stabil, penerapan parliamentary threshold (PT) tersebut dikhawatirkan hanya membunuh peluang partai-partai kecil dan partai baru untuk mendudukkan wakilnya di parlemen."Penerapan PT itu terlalu kejam," ujar mantan anggota KPU Valina Singka Subekti dalam diskusi bertajuk Banyak Gagasan, Akan ke Mana Pemilu Kita di Hotel Santika kemarin (8/2). Sebab, dengan parliamentary threshold, hanya partai yang perolehan kursinya mencapai persentase tertentu yang bisa masuk parlemen. Kekurangan satu kursi saja dari standar yang sudah ditentukan bisa mengganjal langkah partai bersangkutan. PT dua persen saja sudah setara dengan sebelas kursi. Bila partai tertentu hanya sukses memenangkan sepuluh kursi, konsekuensinya, partai itu kehilangan hak untuk menduduki parlemen. Ada pun sepuluh kursinya dianggap hangus. "Makanya, penyederhanaan partai itu sebaiknya tetap dilakukan secara alamiah melalui electoral threshold (ET)," ungkapnya. Dengan demikian, berapa pun kursi yang dimenangkan partai tidak memengaruhi hak untuk menempatkan wakilnya di parlemen. Namun, partai yang perolehan suaranya tidak mampu mencapai persentase tertentu dari ET memiliki konsekuensi tidak bisa ikut pada pemilu selanjutnya.Berbeda pandangan, peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menilai sudah saatnya PT diterapkan. Sebab, penerapan ET terbukti gampang "diakali" partai. Mereka yang gagal menembus ET banyak yang menyiasati melalui pembentukan parpol baru dengan sekadar mengganti nama dan lambang.Akibatnya, visi nasional untuk penyederhanaan partai tidak tercapai. "ET jadi tidak efektif karena hanya dipermainkan politisi," ungkapnya. Apalagi, kata dia, konsepsi ET di Indonesia sudah dimaknai dengan salah kaprah. Di negara lain yang demokrasinya lebih maju, ET menentukan apakah parpol punya wakil atau tidak di parlemen. Namun, di Indonesia, ET justru menentukan bisa tidaknya parpol mengikuti pemilu berikutnya. Itu pun bisa diakali partai-partai yang gagal lolos ET dengan sekadar mengganti baju."Jadi, sampai kapan begini terus? Kendati sadis, penerapan PT harus dimulai dari persentase kecil, yakni satu persen," tegasnya.Direktur Cetro Hadar Navis Gumay menambahkan, PT memang harus segera diterapkan. Selain untuk menyaring parpol yang benar-benar serius dan memiliki basis, fragmentasi dewan bisa diminimalkan. Sebab, tidak banyak terbentuk kelompok yg terlalu kecil di parlemen. "Perjuangan parlemen bisa lebih efektif," ujarnya.Tapi, dia mengusulkan agar standar PT mengacu pada jumlah perolehan suara, bukan perolehan kursi. "Jadi, begitu penghitungan suara selesai, langsung diketahui partai mana yang bisa masuk DPR, mana yang tidak," katanya. (pri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar