KRC, JAKARTA -
Pengalaman penerapan sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2004 harus menjadi pelajaran berharga. Sebab, kendati "mengklaim" diri sebagai sistem terbuka, realitasnya tetap seperti sistem proporsional tertutup. "Terbuka tinggal namanya saja," kata peneliti senior LIPI Syamsuddin Haris ketika dihubungi kemarin (10/2).Dalam sistem tertutup, seorang caleg terpilih ditetapkan berdasar nomor urut. Sebaliknya, dalam sistem terbuka, seorang caleg dinyatakan terpilih bila perolehan suaranya mencapai BPP (bilangan pembagi pemilih). Nilai BPP diperoleh dengan membagi jumlah penduduk suatu dapil (daerah pemilihan) dengan jumlah kursi yang diperebutkan di dapil tersebut. Singkat kata, BPP merupakan harga satu kursi.Namun, realitasnya, ungkap Harris, hanya dua anggota DPR yang pada Pemilu 2004 sukses mencapai standar BPP di dapilnya. Masing-masing Hidayat Nurwahid (PKS) dari dapil Jakarta II dan Saleh Djasit (Partai Golkar) dari dapil Riau. Sebaliknya, 548 wakil rakyat yang lain benar-benar terpilih atas dasar keberuntungan berada di posisi nomor urut jadi atau teratas.Aturan main dalam sistem proporsional terbuka memang seperti itu. Ketika tak ada caleg suatu partai tertentu yang perolehan suaranya mencapai BPP, sementara masih ada jatah kursi yang dimenangkan partainya di dapil itu, kursi tak bertuan itu langsung didistribusikan sesuai nomor urut calegnya. Penentuannya mulai dari yang posisi teratas.Karena itulah, terpikir untuk memodifikasi ketentuan proporsional terbuka yang menggariskan pencapaian 100 persen dari BPP. Namanya proporsional terbuka terbatas. Disebut terbatas karena nilai persentase pencapaian BPP yang ditentukan tidak penuh seratus persen. Nilai persentase itulah yang sekarang menjadi sumber perdebatan alot di DPR.Menurut Haris, persentase BPP harus ditetapkan serendah-rendahnya. Sebab, bila masih terlalu tinggi, dia khawatir, tidak realistis untuk dipenuhi para caleg. Ujung-ujungnya, logika ke nomor urut akan kembali mendominasi. "Kalau 25 persen, caleg yang bisa mencapainya masih terlalu sedikit. Jadi, sebaiknya lebih kecil lagi," tandasnya.Saat ini fraksi-fraksi di DPR memang cenderung kepada angka 25 persen. Bahkan, belakangan ini malah kemungkinan naik alias bertambah menjadi 30 persen.Harris menyebut, UU Pemilu pasti diputuskan secara politik, bukan mengikuti nalar akademis. "Pasti ada kepentingan yang ikut bermain," ujarnya. Terutama, kepentingan elite partai untuk tetap memegang kendali atas caleg-calegnya melalui nomor urut. Karena itu, bila sistem proporsional terbatas diberi standar persentase BPP cukup tinggi, potensi penentuan caleg terpilih kembali ke nomor urut cukup besar.Kendati begitu, Harris tetap berharap kepentingan politik sempit itu tidak mendominasi kepentingan bangsa yang lebih besar. "Bukankah kita ingin membangun sistem politik yang kuat, baik, dan demokratis?" ujarnya.Direktur Cetro (Center for Electoral Reform) Hadar Navis Gumay menambahkan, idealnya Pemilu 2009 menerapkan sistem proporsional terbuka murni. Penetapan caleg terpilih melalui kompetisi perolehan suara terbanyak di internal parpol masing-masing di setiap dapil. Jadi, begitu partai A menang dua kursi di dapil tertentu, dua kursi itu langsung diberikan kepada dua caleg yang memperoleh suara tertinggi di partai A itu.Namun, berhubung parpol-parpol di DPR cenderung ingin tetap menggunakan sistem proporsional terbuka terbatas, tegas Hadar, persentase BPP yang paling aman adalah 10 persen. "Itu paling top," katanya.(jj)
Senin, 11 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar