JAKARTA - Kurang satu pekan batas akhir penyerahan syarat kelengkapan parpol ke Depkum HAM. Nyatanya, masih banyak parpol yang belum melengkapi persyaratan yang ditetapkan. Hingga kemarin (21/2), misalnya, baru tiga parpol yang menyerahkan persyaratan kelengkapan parpol untuk mendapatkan status badan hukum. Ketiga parpol tersebut adalah Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Buruh, dan Partai Hanura. Jumlah itu sangat kecil dibanding yang telah mendaftar di Depkum HAM yang mencapai 107 parpol. "Saya ingatkan, batas akhirnya 27 Februari. Tinggal enam hari lagi," ujar Dirjen Administrasi Hukum Umum Depkum HAM Syamsudin Manan Sinaga.Sesuai UU No 2/2008 tentang Parpol, untuk mendapatkan status sebagai badan hukum, parpol minimal memiliki kepengurusan di 60 persen dari jumlah provinsi, 50 persen dari jumlah kabupaten/kota, dan 25 persen dari jumlah kecamatan dalam setiap kabupaten/kota. Hal itu berdasarkan aturan dalam pasal 3 ayat (2) UU tersebut.Kepengurusan tersebut dibuktikan dengan menunjukkan surat keterangan dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbang) setempat. "Setelah batas akhir (penyerahan kelengkapan), Depkum HAM akan melakukan verifikasi," jelas Syamsudin.Kemarin Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) memang menyerahkan berkas kelengkapan persyaratan parpol ke panitia verifikasi parpol Depkum HAM. Bahkan, berkas Hanura diserahkan langsung oleh ketua umumnya, Wiranto, kepada Syamsudin Manan, yang kemarin didampingi Direktur Tata Negara AHU Aidir Amin Daud.Partai Hanura menyerahkan berkas kepengurusan di 33 provinsi yang dilampiri surat keterangan dari Bakesbangpol. Selain itu, berkas kepengurusan di 345 kabupaten/kota serta 2564 kecamatan. "Berkas yang kami serahkan sudah melampaui batas minimal yang disyaratkan undang-undang," kata Wiranto.Wiranto yakin dengan desain yang berbeda, parpol yang dipimpinnya mampu mendapat banyak dukungan dari masyarakat. Yang dikedepankan Hanura adalah hati nurani untuk kepentingan masyarakat. "Janji kami hanya untuk bekerja secara baik," katanya. Turut dalam rombongan mantan panglima TNI itu, antara lain, Sekjen Partai Hanura Yus Usman Sumanegara. Ratusan simpatisan juga ikut dalam iring-iringan dari kantor DPP Partai Hanura di Jalan Diponegoro hingga ke kantor Depkum HAM ,Jalan Rasuna Said. (fal/mk)
Kamis, 21 Februari 2008
Senin, 11 Februari 2008
Caleg Terpilih Maksimal 10% BPP
KRC, JAKARTA -
Pengalaman penerapan sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2004 harus menjadi pelajaran berharga. Sebab, kendati "mengklaim" diri sebagai sistem terbuka, realitasnya tetap seperti sistem proporsional tertutup. "Terbuka tinggal namanya saja," kata peneliti senior LIPI Syamsuddin Haris ketika dihubungi kemarin (10/2).Dalam sistem tertutup, seorang caleg terpilih ditetapkan berdasar nomor urut. Sebaliknya, dalam sistem terbuka, seorang caleg dinyatakan terpilih bila perolehan suaranya mencapai BPP (bilangan pembagi pemilih). Nilai BPP diperoleh dengan membagi jumlah penduduk suatu dapil (daerah pemilihan) dengan jumlah kursi yang diperebutkan di dapil tersebut. Singkat kata, BPP merupakan harga satu kursi.Namun, realitasnya, ungkap Harris, hanya dua anggota DPR yang pada Pemilu 2004 sukses mencapai standar BPP di dapilnya. Masing-masing Hidayat Nurwahid (PKS) dari dapil Jakarta II dan Saleh Djasit (Partai Golkar) dari dapil Riau. Sebaliknya, 548 wakil rakyat yang lain benar-benar terpilih atas dasar keberuntungan berada di posisi nomor urut jadi atau teratas.Aturan main dalam sistem proporsional terbuka memang seperti itu. Ketika tak ada caleg suatu partai tertentu yang perolehan suaranya mencapai BPP, sementara masih ada jatah kursi yang dimenangkan partainya di dapil itu, kursi tak bertuan itu langsung didistribusikan sesuai nomor urut calegnya. Penentuannya mulai dari yang posisi teratas.Karena itulah, terpikir untuk memodifikasi ketentuan proporsional terbuka yang menggariskan pencapaian 100 persen dari BPP. Namanya proporsional terbuka terbatas. Disebut terbatas karena nilai persentase pencapaian BPP yang ditentukan tidak penuh seratus persen. Nilai persentase itulah yang sekarang menjadi sumber perdebatan alot di DPR.Menurut Haris, persentase BPP harus ditetapkan serendah-rendahnya. Sebab, bila masih terlalu tinggi, dia khawatir, tidak realistis untuk dipenuhi para caleg. Ujung-ujungnya, logika ke nomor urut akan kembali mendominasi. "Kalau 25 persen, caleg yang bisa mencapainya masih terlalu sedikit. Jadi, sebaiknya lebih kecil lagi," tandasnya.Saat ini fraksi-fraksi di DPR memang cenderung kepada angka 25 persen. Bahkan, belakangan ini malah kemungkinan naik alias bertambah menjadi 30 persen.Harris menyebut, UU Pemilu pasti diputuskan secara politik, bukan mengikuti nalar akademis. "Pasti ada kepentingan yang ikut bermain," ujarnya. Terutama, kepentingan elite partai untuk tetap memegang kendali atas caleg-calegnya melalui nomor urut. Karena itu, bila sistem proporsional terbatas diberi standar persentase BPP cukup tinggi, potensi penentuan caleg terpilih kembali ke nomor urut cukup besar.Kendati begitu, Harris tetap berharap kepentingan politik sempit itu tidak mendominasi kepentingan bangsa yang lebih besar. "Bukankah kita ingin membangun sistem politik yang kuat, baik, dan demokratis?" ujarnya.Direktur Cetro (Center for Electoral Reform) Hadar Navis Gumay menambahkan, idealnya Pemilu 2009 menerapkan sistem proporsional terbuka murni. Penetapan caleg terpilih melalui kompetisi perolehan suara terbanyak di internal parpol masing-masing di setiap dapil. Jadi, begitu partai A menang dua kursi di dapil tertentu, dua kursi itu langsung diberikan kepada dua caleg yang memperoleh suara tertinggi di partai A itu.Namun, berhubung parpol-parpol di DPR cenderung ingin tetap menggunakan sistem proporsional terbuka terbatas, tegas Hadar, persentase BPP yang paling aman adalah 10 persen. "Itu paling top," katanya.(jj)
Pengalaman penerapan sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2004 harus menjadi pelajaran berharga. Sebab, kendati "mengklaim" diri sebagai sistem terbuka, realitasnya tetap seperti sistem proporsional tertutup. "Terbuka tinggal namanya saja," kata peneliti senior LIPI Syamsuddin Haris ketika dihubungi kemarin (10/2).Dalam sistem tertutup, seorang caleg terpilih ditetapkan berdasar nomor urut. Sebaliknya, dalam sistem terbuka, seorang caleg dinyatakan terpilih bila perolehan suaranya mencapai BPP (bilangan pembagi pemilih). Nilai BPP diperoleh dengan membagi jumlah penduduk suatu dapil (daerah pemilihan) dengan jumlah kursi yang diperebutkan di dapil tersebut. Singkat kata, BPP merupakan harga satu kursi.Namun, realitasnya, ungkap Harris, hanya dua anggota DPR yang pada Pemilu 2004 sukses mencapai standar BPP di dapilnya. Masing-masing Hidayat Nurwahid (PKS) dari dapil Jakarta II dan Saleh Djasit (Partai Golkar) dari dapil Riau. Sebaliknya, 548 wakil rakyat yang lain benar-benar terpilih atas dasar keberuntungan berada di posisi nomor urut jadi atau teratas.Aturan main dalam sistem proporsional terbuka memang seperti itu. Ketika tak ada caleg suatu partai tertentu yang perolehan suaranya mencapai BPP, sementara masih ada jatah kursi yang dimenangkan partainya di dapil itu, kursi tak bertuan itu langsung didistribusikan sesuai nomor urut calegnya. Penentuannya mulai dari yang posisi teratas.Karena itulah, terpikir untuk memodifikasi ketentuan proporsional terbuka yang menggariskan pencapaian 100 persen dari BPP. Namanya proporsional terbuka terbatas. Disebut terbatas karena nilai persentase pencapaian BPP yang ditentukan tidak penuh seratus persen. Nilai persentase itulah yang sekarang menjadi sumber perdebatan alot di DPR.Menurut Haris, persentase BPP harus ditetapkan serendah-rendahnya. Sebab, bila masih terlalu tinggi, dia khawatir, tidak realistis untuk dipenuhi para caleg. Ujung-ujungnya, logika ke nomor urut akan kembali mendominasi. "Kalau 25 persen, caleg yang bisa mencapainya masih terlalu sedikit. Jadi, sebaiknya lebih kecil lagi," tandasnya.Saat ini fraksi-fraksi di DPR memang cenderung kepada angka 25 persen. Bahkan, belakangan ini malah kemungkinan naik alias bertambah menjadi 30 persen.Harris menyebut, UU Pemilu pasti diputuskan secara politik, bukan mengikuti nalar akademis. "Pasti ada kepentingan yang ikut bermain," ujarnya. Terutama, kepentingan elite partai untuk tetap memegang kendali atas caleg-calegnya melalui nomor urut. Karena itu, bila sistem proporsional terbatas diberi standar persentase BPP cukup tinggi, potensi penentuan caleg terpilih kembali ke nomor urut cukup besar.Kendati begitu, Harris tetap berharap kepentingan politik sempit itu tidak mendominasi kepentingan bangsa yang lebih besar. "Bukankah kita ingin membangun sistem politik yang kuat, baik, dan demokratis?" ujarnya.Direktur Cetro (Center for Electoral Reform) Hadar Navis Gumay menambahkan, idealnya Pemilu 2009 menerapkan sistem proporsional terbuka murni. Penetapan caleg terpilih melalui kompetisi perolehan suara terbanyak di internal parpol masing-masing di setiap dapil. Jadi, begitu partai A menang dua kursi di dapil tertentu, dua kursi itu langsung diberikan kepada dua caleg yang memperoleh suara tertinggi di partai A itu.Namun, berhubung parpol-parpol di DPR cenderung ingin tetap menggunakan sistem proporsional terbuka terbatas, tegas Hadar, persentase BPP yang paling aman adalah 10 persen. "Itu paling top," katanya.(jj)
Jumat, 08 Februari 2008
Pemberlakuan PT Akan Mematikan Partai Kecil
KRC, Jakarta
- Gagasan parliamentary threshold (perolehan kursi minimal) parpol dianggap belum waktunya diterapkan pada Pemilu 2009. Dalam iklim kepartaian yang belum stabil, penerapan parliamentary threshold (PT) tersebut dikhawatirkan hanya membunuh peluang partai-partai kecil dan partai baru untuk mendudukkan wakilnya di parlemen."Penerapan PT itu terlalu kejam," ujar mantan anggota KPU Valina Singka Subekti dalam diskusi bertajuk Banyak Gagasan, Akan ke Mana Pemilu Kita di Hotel Santika kemarin (8/2). Sebab, dengan parliamentary threshold, hanya partai yang perolehan kursinya mencapai persentase tertentu yang bisa masuk parlemen. Kekurangan satu kursi saja dari standar yang sudah ditentukan bisa mengganjal langkah partai bersangkutan. PT dua persen saja sudah setara dengan sebelas kursi. Bila partai tertentu hanya sukses memenangkan sepuluh kursi, konsekuensinya, partai itu kehilangan hak untuk menduduki parlemen. Ada pun sepuluh kursinya dianggap hangus. "Makanya, penyederhanaan partai itu sebaiknya tetap dilakukan secara alamiah melalui electoral threshold (ET)," ungkapnya. Dengan demikian, berapa pun kursi yang dimenangkan partai tidak memengaruhi hak untuk menempatkan wakilnya di parlemen. Namun, partai yang perolehan suaranya tidak mampu mencapai persentase tertentu dari ET memiliki konsekuensi tidak bisa ikut pada pemilu selanjutnya.Berbeda pandangan, peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menilai sudah saatnya PT diterapkan. Sebab, penerapan ET terbukti gampang "diakali" partai. Mereka yang gagal menembus ET banyak yang menyiasati melalui pembentukan parpol baru dengan sekadar mengganti nama dan lambang.Akibatnya, visi nasional untuk penyederhanaan partai tidak tercapai. "ET jadi tidak efektif karena hanya dipermainkan politisi," ungkapnya. Apalagi, kata dia, konsepsi ET di Indonesia sudah dimaknai dengan salah kaprah. Di negara lain yang demokrasinya lebih maju, ET menentukan apakah parpol punya wakil atau tidak di parlemen. Namun, di Indonesia, ET justru menentukan bisa tidaknya parpol mengikuti pemilu berikutnya. Itu pun bisa diakali partai-partai yang gagal lolos ET dengan sekadar mengganti baju."Jadi, sampai kapan begini terus? Kendati sadis, penerapan PT harus dimulai dari persentase kecil, yakni satu persen," tegasnya.Direktur Cetro Hadar Navis Gumay menambahkan, PT memang harus segera diterapkan. Selain untuk menyaring parpol yang benar-benar serius dan memiliki basis, fragmentasi dewan bisa diminimalkan. Sebab, tidak banyak terbentuk kelompok yg terlalu kecil di parlemen. "Perjuangan parlemen bisa lebih efektif," ujarnya.Tapi, dia mengusulkan agar standar PT mengacu pada jumlah perolehan suara, bukan perolehan kursi. "Jadi, begitu penghitungan suara selesai, langsung diketahui partai mana yang bisa masuk DPR, mana yang tidak," katanya. (pri)
Langganan:
Postingan (Atom)